BINTANGKU
Sore itu
gemercik hujan serasa dingin di kalbu. Butir demi butir air langit menyentuh
wajah bumi ini. Membawaku hanyut dalam lamunan hayal masa kecilku. Sungguh rasa
ini yang kutakutkan. Luka lama yang telah kukubur dalam-dalam seolah bangkit
dari tidrnya. Hanya air mata yang tulus yang hadir menemanu saat hayal itu
kembali menyentuhku.
19 Februari 2006
Entah mengapa
hari itu terasa berbeda. Tak pernah kuliha sebelumnya, senyumnya yang hangat,
tulus penuh kelembutan menyambut kepulanganku dari empat menoreh ilmu. Ibuku,
begitu berbeda. Semuanya penuh arti, seakan aku adalah orang paling bahagia di
dunia ini saat itu. Tatapan matanya menyala. Sejenak hatiku merasa aneh, namun suaranya terdengar memecah
pikiranku. Seketika aku melupakan keanehan itu. Mungkin usialah yang membuatku
tak peka dengan perubahan ibuku. Aku
menikmatinya. Kuanggap itu hal biasa dan tak begitu penting.
21 Februari 2006
Denting jam dinding kamar membangunkan tidur
nyenyakku. Kutolehkan pandanganku dan kulihat samar jarum jam dinding itu.
Masih pukul 01.00 pagi. Tiba-tiba aku measakan kegelisahan yang amat sangat.
Denyut nadiku berdetak 3 kali lebih cepat dari kecepatan detik jarum jam.
Tubuhku sulit kugerakkan, terasa sangat berat. Hingga beberapa menit kemudian
terasa normal kembali. Aku hendak pergi ke kamar kecil dekat kamar ibuku.
Sepintas mataku tertuju pada pinu kamar yang sedikit terbuka. Aku mendekatinya
dan mencari tahu apa yang terjadi di dalamnya. Hatiku kembali bergetar melihat
ibuku yang tengah hamil 8 bulan itu membolak balikkan badannya. Seolah
merasakan sakit yang amat sangat. Saat itu aku hanya diam, tak satu hal pun
kulakukan. Sampai akhirnya aku kembali ke kamarku lagi.
22 Februari 2006
Pikiranku masih terfokus pada kejadian kemarin
pagi. Masih tergambar jelas wajah gelisah ibuku. Namun aku baru sadar
betapabodohnya aku saat itu. Hanya diam, kenapaaku tidak mencoba mendekatinya.
Bertanya padanya apakah ia sakit, atau menawarinya secangkir air. Bodoh...
Sesal itu sangat menggangguku.
24 Februari 2006
Kembali krasakan keanehan-keanehan sikap ibuku.
Tak biasanya ia membuatkanku bekal saat akan sekolah. Mennya pun berbeda dari
biasanya. “istimewa” batinku. Saat hendak berangkat pun ia mencium keningku dan
samar-samar kudengar ia mengatakan “Ibu menyayangimu.” Namun aku ragu untuk
memintanya mengulang kembali kalimat itu. Ia menggoncengku sampai di depan
rumah. Melihat aku berjalan menuju rumah keduaku tempat mencari ilmu. Sesekali
aku menoleh ke belakang, memastikan ia masih berdiri tegap di tempat yang sama
sambil melambaikan kedua tangannya padaku. Dalam hati aku berkata “Ibu ada ada
saja.”
25 Februari 2006
Hari itu keanehan kembali menghinggapi jiwaku. Tak
seperti hari-hari yang lalu. Kini ibuku sangat dingin. Perbedaan yang sangat
kontras dengan apa yang ia lakukan kemarin. Acuh, dingin keras itu yang
kurasakan darinya. Ia memalingkan wajahnya saat kuulurkan tanganku untuk
meminta doa restu sebelum pergi ke sekolah. Ia hanya menyatakan “Cepat
berangkat. Htai-hati.” Kata-kata itu seharusnya membuatku tenang. Tapi nada
yang diucapkannya membuatku ngilu. Seperti tergores pecahan kaca yang sangat kecil namun begitu perih. Suasana
rumah yang mengecewakan mengganggu konsentrasiku. Coretan-coretan kecil yang
dapat membantuku melepas emosi perasaanku.
Diary...
Bintang... taukah kamu ? aku sangat menyayangimu. Terkadang kau pancarkan
kilau sinarmu. Tapi seketika itu juga kau redupkan terangmu. Keindahan
sinarmulah yang menerangi hati kecilku saat malam menjelma. Namun.. keindahan
sinarmu juga yang membuatku sakit karena ku tak dapat menggapaimu. Iinkan aku
bahagia. Jangan redupkan cahaya indahmu. Cahaya yang akan selalu menerangi hati
dan jiwaku ini.
26 Februari 2006
Hari itulah puncak
dari segala-galanya. Aku benar-benar yakin bahwa sesuatu telah mengubah ibuku.
Sekali-kali ia bersikap baik padaku, namun tiba-tiba tanpa sebab ia kembali
mengacuhkanku. Hari itu hari Selasa dan aku pulang awal karena ada perpisahan
guru di sekolah. Aku sangat senang. Namun suasana hatiku berubah seketika saat
aku hendak masuk ke dalam kamar. Kudengar suara orang yang sedang menangis.
Suara itu berasal dari kamar tengah dekat lorong ke kamar mandi, ya kamar
ibuku. Tapi kemudian aku ingat dan merasa kesal atas sikap ibuku yang
marah-marah tanpa alasan. Aku ganti baju lalu bergegas untuk pergi bermain
dengan teman-temanku. Aku pergi tanpa pamit.
Sekitar pukul 04.00
sore, aku pulang ke rumah. Aku heran melihat keadaan rumahku yang sepi. Yang
kupikirkan saat itu adalah kemarahan . “Aku pasti ditinggal pergi. Ibu dan ayah
jahat.” Itulah yang keluar dari mulutku. Saat aku hendak berteriak melampiaskan
kekesalanku, bibiku datang dan mengajakku pergi ke rumah Bu Siwi, bidan di
desaku.
Seketika aku tahu
bahwa ibuku akan melahirkan. Sedikit sesal hadir dalam benakku. Tepatnya pukul
05.00 sore adik kecilku hadir di dunia ini. Senyum lebar terukir di wajah
ayahku. Namun kurasakan berbeda dengan ibuku. Senyumnya mengisyaratkan sesuatu.
Tapi aku tak tahu apa. Keluargaku sangat bahagia atas karunia tuhan ini, begitu
pun aku.
Namun sekejap rasa
senang itu berubah menjadi sebuah kekhawatiran yang begitu besar. “Maaf, Pak.
Sepertinya Bu Marni mengalami pendarahan.”Ucap sang bidan. Bagai tersambar
petir di siang bolong. Aku merasakan sakit yang amat di dadaku. Aku hanya bisa
menunggu di rumah. Tanpa henti kulantunkan doa-doa untuk ibuku.
“Kring...kring...”
suara telepon kabel itu mengejutkanku. Dengan ragu nenekku mengangkat telepon
itu. Aku tak mendengar apa-apa. Namun kulihat butir-butir air mata menetes
lembut dari pelupuk matanya. Tanpa terasa aku mulai lemas, tak ingin tahu apa
yang terjadi. Dadaku sesak, seakan ada bagian dari tubuhku yang hilang. Saat
perlahan nenek mendekat, aku berusaha tenang, meyakinkan hatiku bahwa semuanya
baik-baik saja. Erat sekali nenek memelukku dan sesekali mengusap rambutku. Lalu
ia berbisik lirih di telingaku “Nduk.. Ibumu wes ndak ada .” Deeeeeeaaaaaaaaarrrrrrrr....... seketika
itu air mata yang telah kubendung kuat-kuat akhirnya tumpah bersama isakku yang
menjadi. Bintangku... bintangku... kini benar-benar telah kehilangan cahayanya
dan perlahan lenyap di telan malam.
Tuhan... biarkanlah
bintangku mendekatimu. Jagalah dia.. Lindungilah dia..terimalah dia di sisimu..
sekalipun sesungguhnya aku masih sangat membutuhkannya, tapi mungkin bintangku
akan lebih bercahaya apabila ia bersamamu.
Ibu... maaf karena aku
selalu mengecewakanmu, terimakasih
karena tlah menjadi ibuku. Ibu yang paling berharga. Sekalipun kau telah pergi,
tapi kau hadirkan bintang kecil penggantimu. Kini bukan bintang yang akan menjagaku.
Tapi akulah yang akan menjaga bintang kecil titipanmu.
“Oma... jeongmalo sharanghaeyo.....”
TAMAT
Ini adalah sebuah kisah nyata. tapi nama dan tempatnya saya samarkan. semoga cerita di atas dapat mengingatkan kamu untuk selalu mencintai ibumu dan memuliakannya sebelum kamu tidak punya kesempatan lagi. Makasih udah mau nyempetin baca :) gomawo :)
0 komentar:
Posting Komentar