Kamis, 29 Januari 2015

Ceritaku tentang Ibu (oma)

Posted by Unknown On 23.51 | No comments


BINTANGKU
Sore itu gemercik hujan serasa dingin di kalbu. Butir demi butir air langit menyentuh wajah bumi ini. Membawaku hanyut dalam lamunan hayal masa kecilku. Sungguh rasa ini yang kutakutkan. Luka lama yang telah kukubur dalam-dalam seolah bangkit dari tidrnya. Hanya air mata yang tulus yang hadir menemanu saat hayal itu kembali  menyentuhku.
19 Februari 2006
Entah mengapa hari itu terasa berbeda. Tak pernah kuliha sebelumnya, senyumnya yang hangat, tulus penuh kelembutan menyambut kepulanganku dari empat menoreh ilmu. Ibuku, begitu berbeda. Semuanya penuh arti, seakan aku adalah orang paling bahagia di dunia ini saat itu. Tatapan matanya menyala. Sejenak hatiku merasa aneh, namun suaranya terdengar memecah pikiranku. Seketika aku melupakan keanehan itu. Mungkin usialah yang membuatku tak peka dengan perubahan ibuku. Aku menikmatinya. Kuanggap itu hal biasa dan tak begitu penting.
21 Februari 2006
Denting jam dinding kamar membangunkan tidur nyenyakku. Kutolehkan pandanganku dan kulihat samar jarum jam dinding itu. Masih pukul 01.00 pagi. Tiba-tiba aku measakan kegelisahan yang amat sangat. Denyut nadiku berdetak 3 kali lebih cepat dari kecepatan detik jarum jam. Tubuhku sulit kugerakkan, terasa sangat berat. Hingga beberapa menit kemudian terasa normal kembali. Aku hendak pergi ke kamar kecil dekat kamar ibuku. Sepintas mataku tertuju pada pinu kamar yang sedikit terbuka. Aku mendekatinya dan mencari tahu apa yang terjadi di dalamnya. Hatiku kembali bergetar melihat ibuku yang tengah hamil 8 bulan itu membolak balikkan badannya. Seolah merasakan sakit yang amat sangat. Saat itu aku hanya diam, tak satu hal pun kulakukan. Sampai akhirnya aku kembali ke kamarku lagi.
22 Februari 2006
Pikiranku masih terfokus pada kejadian kemarin pagi. Masih tergambar jelas wajah gelisah ibuku. Namun aku baru sadar betapabodohnya aku saat itu. Hanya diam, kenapaaku tidak mencoba mendekatinya. Bertanya padanya apakah ia sakit, atau menawarinya secangkir air. Bodoh... Sesal itu sangat menggangguku.
24 Februari 2006
Kembali krasakan keanehan-keanehan sikap ibuku. Tak biasanya ia membuatkanku bekal saat akan sekolah. Mennya pun berbeda dari biasanya. “istimewa” batinku. Saat hendak berangkat pun ia mencium keningku dan samar-samar kudengar ia mengatakan “Ibu menyayangimu.” Namun aku ragu untuk memintanya mengulang kembali kalimat itu. Ia menggoncengku sampai di depan rumah. Melihat aku berjalan menuju rumah keduaku tempat mencari ilmu. Sesekali aku menoleh ke belakang, memastikan ia masih berdiri tegap di tempat yang sama sambil melambaikan kedua tangannya padaku. Dalam hati aku berkata “Ibu ada ada saja.”
25 Februari 2006
Hari itu keanehan kembali menghinggapi jiwaku. Tak seperti hari-hari yang lalu. Kini ibuku sangat dingin. Perbedaan yang sangat kontras dengan apa yang ia lakukan kemarin. Acuh, dingin keras itu yang kurasakan darinya. Ia memalingkan wajahnya saat kuulurkan tanganku untuk meminta doa restu sebelum pergi ke sekolah. Ia hanya menyatakan “Cepat berangkat. Htai-hati.” Kata-kata itu seharusnya membuatku tenang. Tapi nada yang diucapkannya membuatku ngilu. Seperti tergores pecahan kaca  yang sangat kecil namun begitu perih. Suasana rumah yang mengecewakan mengganggu konsentrasiku. Coretan-coretan kecil yang dapat membantuku melepas emosi perasaanku.
Diary...
Bintang... taukah kamu ? aku sangat menyayangimu. Terkadang kau pancarkan kilau sinarmu. Tapi seketika itu juga kau redupkan terangmu. Keindahan sinarmulah yang menerangi hati kecilku saat malam menjelma. Namun.. keindahan sinarmu juga yang membuatku sakit karena ku tak dapat menggapaimu. Iinkan aku bahagia. Jangan redupkan cahaya indahmu. Cahaya yang akan selalu menerangi hati dan jiwaku ini.
                26 Februari 2006
                Hari itulah puncak dari segala-galanya. Aku benar-benar yakin bahwa sesuatu telah mengubah ibuku. Sekali-kali ia bersikap baik padaku, namun tiba-tiba tanpa sebab ia kembali mengacuhkanku. Hari itu hari Selasa dan aku pulang awal karena ada perpisahan guru di sekolah. Aku sangat senang. Namun suasana hatiku berubah seketika saat aku hendak masuk ke dalam kamar. Kudengar suara orang yang sedang menangis. Suara itu berasal dari kamar tengah dekat lorong ke kamar mandi, ya kamar ibuku. Tapi kemudian aku ingat dan merasa kesal atas sikap ibuku yang marah-marah tanpa alasan. Aku ganti baju lalu bergegas untuk pergi bermain dengan teman-temanku. Aku pergi tanpa pamit.
                Sekitar pukul 04.00 sore, aku pulang ke rumah. Aku heran melihat keadaan rumahku yang sepi. Yang kupikirkan saat itu adalah kemarahan . “Aku pasti ditinggal pergi. Ibu dan ayah jahat.” Itulah yang keluar dari mulutku. Saat aku hendak berteriak melampiaskan kekesalanku, bibiku datang dan mengajakku pergi ke rumah Bu Siwi, bidan di desaku.
                Seketika aku tahu bahwa ibuku akan melahirkan. Sedikit sesal hadir dalam benakku. Tepatnya pukul 05.00 sore adik kecilku hadir di dunia ini. Senyum lebar terukir di wajah ayahku. Namun kurasakan berbeda dengan ibuku. Senyumnya mengisyaratkan sesuatu. Tapi aku tak tahu apa. Keluargaku sangat bahagia atas karunia tuhan ini, begitu pun aku.
                Namun sekejap rasa senang itu berubah menjadi sebuah kekhawatiran yang begitu besar. “Maaf, Pak. Sepertinya Bu Marni mengalami pendarahan.”Ucap sang bidan. Bagai tersambar petir di siang bolong. Aku merasakan sakit yang amat di dadaku. Aku hanya bisa menunggu di rumah. Tanpa henti kulantunkan doa-doa untuk ibuku.
                “Kring...kring...” suara telepon kabel itu mengejutkanku. Dengan ragu nenekku mengangkat telepon itu. Aku tak mendengar apa-apa. Namun kulihat butir-butir air mata menetes lembut dari pelupuk matanya. Tanpa terasa aku mulai lemas, tak ingin tahu apa yang terjadi. Dadaku sesak, seakan ada bagian dari tubuhku yang hilang. Saat perlahan nenek mendekat, aku berusaha tenang, meyakinkan hatiku bahwa semuanya baik-baik saja. Erat sekali nenek memelukku dan sesekali mengusap rambutku. Lalu ia berbisik lirih di telingaku “Nduk.. Ibumu wes ndak ada .”    Deeeeeeaaaaaaaaarrrrrrrr....... seketika itu air mata yang telah kubendung kuat-kuat akhirnya tumpah bersama isakku yang menjadi. Bintangku... bintangku... kini benar-benar telah kehilangan cahayanya dan perlahan lenyap di telan malam.
                Tuhan... biarkanlah bintangku mendekatimu. Jagalah dia.. Lindungilah dia..terimalah dia di sisimu.. sekalipun sesungguhnya aku masih sangat membutuhkannya, tapi mungkin bintangku akan lebih bercahaya apabila ia bersamamu.
                Ibu... maaf karena aku selalu mengecewakanmu,  terimakasih karena tlah menjadi ibuku. Ibu yang paling berharga. Sekalipun kau telah pergi, tapi kau hadirkan bintang kecil penggantimu. Kini bukan bintang yang akan menjagaku. Tapi akulah yang akan menjaga bintang kecil titipanmu.
“Oma... jeongmalo sharanghaeyo.....”
TAMAT

Ini adalah sebuah kisah nyata. tapi nama dan tempatnya saya samarkan. semoga cerita di atas dapat mengingatkan kamu untuk selalu mencintai ibumu dan memuliakannya sebelum kamu tidak punya kesempatan lagi. Makasih udah mau nyempetin baca :) gomawo :) 

0 komentar:

Posting Komentar

Blogroll

About